KONSEP DASAR PROFESI
DISUSUN OLEH :
AHMAD HAMDIN
16 – 630 – 029
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU
2018/2019
KONSEP DASAR PROFESI
Pendahuluan
Pada pembahasan ini akan dipelajari konsep dasar profesi, yang akan
mengantarkan pembaca memiliki pemahaman tentang apa
profesionalisme itu, syarat-syarat/ prinsip-prinsip profesionalitas,
istilah-istilah yang berkait dengan profesi, tingkatan-tingkatan profesi
dan urgensi profesi dalam kehidupan baik bagi individu maupun
orang lain. Jadi tujuan bab 1 ini akan membahas:
1. Pengertian profesi
2. Syarat/prinsip-prinsip profesionalisme
3. Istilah-istilah yang berkait dengan profesi
4. Tingkatan-tingkatan profesi
5. Urgensi profesionalismedalam kehidupan manusia
Pengertian Profesi
Secara etimologi profesi dari kata profession yang berarti pekerjaan. Professional artinya orang yang ahli atau tenaga ahli. Professionalism artinya sifat professional. (John M. Echols & Hassan Shadily, 1990: 449).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah profesionalisasi ditemukan sebagai berikut: Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. Profesional adalah bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya
mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Profesionalisasi adalah proses membuat suatu badan organisasi agar menjadi professional. (Depdiknas, 2005: 897).
Secara leksikal, perkataan profesi itu ternyata mengandung berbagai makna dan pengertian. Pertama, profesi itu menunjukkan dan mengungkapkan suatu kepercayaan (to profess means to trust), bahkan suatu keyakinan (to belief in) atas sesuatu kebenaran (ajaran agama) atau kredibilitas seseorang (Hornby, 1962). Kedua, profesi itu dapat pula menunjukkan dan mengungkapkan suatu pekerjaan atau urusan tertentu (a particular business, Hornby, 1962). Webster’s New World Dictionary menunjukkan lebih lanjut bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut pendidikan tinggi (kepada pengembannya)
dalam liberal arts atau science, dan biasanya meliputi pekerjaan mental dan bukan pekerjaan manual, seperti mengajar, keinsinyuran, mengarang, dan sebagainya; terutama kedokteran, hukum dan teknologi. Good’s Dictionary of Education lebih menegaskan lagi bahwa
profesi itu merupakan suatu pekerjaan yang meminta persiapan spesialisasi yang relatif lama di perguruan tinggi (kepada pengembannya) dan diatur oleh suatu kode etika khusus. Dari berbagai penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa profesi itu pada hakekatnya merupakan suatu pekerjaan tertentu yang menuntut persyaratan khusus dan istimewa sehingga meyakinkan dan memperoleh
kepercayaan pihak yang memerlukannya. Pada umumnya masyarakat awam memaknai kata profesionalisme bukan hanya digunakan untuk pekerjaan yang telah diakui sebagi suatu profesi, melainkan pada hampir setiap pekerjaan. Muncul ungkapan misalnya penjahat profesional, sopir profesional, hingga tukang ojeg profesional. Dalam bahasa awam pula, seseorang disebut profesional jika cara kerjanya baik, cekatan, dan hasilnya memuaskan. Dengan hasil kerjanya itu, seseorang mendapatkan uang atau bentuk imbalan lainnya. Dalam bahasa populer, profesionalisme dikontraskan dengan amatiran. Seorang amatir dianggap belum mampu bekerja secara terampil, cekatan, dan baru taraf belajar. Dalam olahraga lebih jelas perbedaannya dengan menggunakan ukuran bayaran. Pemain profesional adalah pemain yang berhak mendapatkan bayaran sebagai imbalan dari kesetaraannya dalam pertandingan. Faktor bayaran merupakan alasan utama mengapa seseorang bermain. Pemain amatir, di pihak lain, bermain bukan dibayar, melainkan untuk bermain dan memenangkan pertandingan – meskipun mendapatkan bayaran juga
hal ini dimiliki, sulit seseorang mewujudkan profesionalismenya. Ketiga hal itu ialah
-keahlian,
-komitmen,
-dan keterampilan
yang relevan yang membentuk sebuah segitiga sama sisi yang ditengahnya terletak profesionalisme. Ketiga hal itu pertama-tama dikembangkan melalui pendidikan pra-jabatan dan selanjutnya ditingkatkan melalui pengalaman dan pendidikan/latihan dalama jabatan. Karena keahliannya yang tinggi, maka seorang profesional dibayar tinggi. ”well educated, well trained, well paid”, adalah salah satu prinsip profesionalisme.
Profesionalitas adalah suatu sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk dapat melakukan tugas- tugasnya. Dengan demikian, profesionalitas guru PAI adalah suatu
“keadaan” derajat keprofesian seorang guru PAI dalam sikap, pengetahuan, dan keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pendidikan dan pembelajaran agama Islam. Dalam hal ini, guru PAI diharapkan memiliki profesionalitas keguruan yang memadai sehingga mampu melaksanakan tugasnya secara efektif. Secara istilah, profesi biasa diartikan sebagai suatu bidang pekerjaan yang didasarkan pada keahlian tertentu.
Dari berbagai pengertian di atas tersirat bahwa dalam profesi digunakan teknik dan prosedur intelektual yang harus dipelajari secara sengaja, sehingga dapat diterapkan untuk kemaslahatan orang lain. Dalam kaitan ini seorang pekerja profesional dapat dibedakan dari seorang pekerja amatir walaupun sama-sama menguasai sejumlah teknik dan prosedur kerja tertentu, seorang pekerja profesional memiliki filosofi untuk menyikapi dan melaksanakan pekerjaannya. (Syafruddin Nurdin, 2005: 13-14).
Syarat-syarat Profesi
Menurut Syafrudin Nurdin ada delapan kriteria yang harus
dipenuhi oleh suatu pekerjaan agar dapat disebut sebagai profesi, yaitu :
1. Panggilan hidup yang sepenuh waktu
2. Pengetahuan dan kecakapan atau keahlian
3. Kebakuan yang universal
4. Pengabdian
5. Kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif
6. Otonomi
7. Kode etik
8. Klien
9. Berperilaku pamong
10.Bertanggung jawab,
( Syafrudin Nurdin, 2005: 14-15).
( Syafrudin Nurdin, 2005: 14-15).
Sementara Ahmad Tafsir mengemukakan 10 kriteria/syarat untuk sebuah pekerjaan yang bisa disebut profesi, yaitu:
1. Profesi harus memiliki suatu keahlian yang khusus.
2. Profesi harus diambil sebagai pemenuhan panggilan hidup.
3. Profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal.
4. Profesi adalah diperuntukkan bagi masyarakat.
5. Profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostic dan kompetensi aplikatif.
6. Pemegang profesi memegang otonomi dalam melakukan profesinya.
7. Profesi memiliki kode etik.
8. Profesi miliki klien yang jelas.
9. Profesi memiliki organisasi profesi.
10.Profesi mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang lain.
(Ahmad Tafsir, 1992: 108).
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 39 (ayat 2) jabatan guru dinyatakan sebagai jabatan professional.
Teks lengkapnya sebagai berikut:
“Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. (Sekretariat Negara, 2003: 26).
Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
pasal 7 ayat 1, prinsip profesional guru mencakup karakteristik
sebagai berikut:
1. Memiliki bakat, minat, panggilan, dan idealisme.
2. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas.
3. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.
4. Memiliki ikatan kesejawatan dan kode etik profesi.
5. Bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.
7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesi berkelanjutan.
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan keprofesionalan.
9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan keprofesian.
(Sekretariat Negara, 2005: 15): Robert W. Richey (Arikunto, 1990:235) mengemukakan ciri-
ciri dan syarat-syarat profesi sebagai berikut:
1. Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi.
2. Seorang pekerja profesional, secara aktif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya.
3. Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
4. Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap dan cara kerja.
5. Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi.
6. Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi, serta kesejahteraan anggotanya.
7. Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian.
8. Memandang profesi suatu karier hidup (alive career) dan menjadi seorang anggota yang permanen.
Lieberman (1956), mengemukakan bahwa karakteristik
semua jenis profesi kalau dicermati secara seksama ternyata terdapat
titik-titik persamaannya. Di antara pokok-pokok persamaannya itu
ialah sebagai berikut.
1. A unique, definite, and essential service
Profesi itu merupakan suatu jenis pelayanan atau pekerjaan
yang unik (khas), dalam arti berbeda dari jenis pekerjaan atau
pelayanan apapun yang lainnya. Di samping itu, profesi juga bersifat
definitif dalam arti jelas batas-batas kawasan cakupan bidang
garapannya (meskipun mungkin sampai batas dan derajat tertentu ada
kontigensinya dengan bidang lainnya). Selanjutnya, profesi juga
merupakan suatu pekerjaan atau pelayanan yang amat penting, dalam
arti hal itu amat dibutuhkan oleh pihak penerima jasanya sementara
pihaknya sendiri tidak memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuan untuk melakukannya sendiri.
2. An emphasis upon intellectual technique in performing its service
Pelayanan itu amat menuntut kemampuan kinerja intelektual,
yang berlainan dengan keterampilan atau pekerjaan manual semata-
mata. Benar, pelayanan profesi juga terkadang mempergunakan
peralatan manual dalam praktek pelayanannya, seperti seorang dokter
bedah misalnya menggunakan pisau operasi, namun proses
penggunaannya dibimbing oleh suatu teori dan wawasan intelektual.
3. A long period of specialized training
Untuk memperoleh penguasaan dan kemampuan intelektual
(wawasan atau visi dan kemampuan atau kompetensi serta kemahiran
atau skills) serta sikap profesional tersebut di atas, seseorang akan
memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai kualifikasi
keprofesian sempurna lazimnya -tidak kurang dari lima tahun
lamanya; ditambah dengan pengalaman praktek terbimbing hingga
tercapainya suatu tingkat kemandirian secara penuh dalam
menjalankan profesinya. Pendidikan keprofesian termaksud lazimnya
diselenggarakan pada jenjang pendidikan tinggi, dengan proses
pemagangannya sampai batas waktu tertentu dalam bimbingan para
seniornya.
4. A broad range of autonomy for both the individual practitioners and
the occupational group as a whole
Kinerja pelayanan itu demikian cermat secara teknis sehingga
kelompok (asosiasi) profesi yang bersangkutan sudah memberikan
jaminan bahwa anggotanya dipandang mampu untuk melakukannya
sendiri tugas pelayanan tersebut, apa yang seyogianya dilakukan dan
bagaimana menjalankannya, siapa yang seyogianya memberikan izin
dan lisensi untuk melaksanakan kinerja itu. Individu-individu dalam
kerangka kelompok asosiasinya pada dasarnya relatif bebas dari
pengawasan, dan secara langsung mereka menangani prakteknya.
Dalam hal menjumpai sesuatu kasus yang berada di luar
kemampuannya, mereka membuat rujukan (referral) kepada orang
lain dipandang lebih berwenang, atau membawanya ke dalam suatu
panel atau konferensi kasus (case conference).
5. An acceptance by the practitioners of broad personal responsibility
for judgments made and acts performed within the scope of
professional autonomy
Konsekuensi dari otonomi yang dilimpahkan kepada seorang
tenaga praktisi profesional itu, maka berarti pula ia memikul
tanggung jawab pribadinya harus secara penuh. Apapun yang terjadi,
seperti dokter keliru melakukan diagnosis atau memberikan
perlakuan terhadap pasiennya atau seorang guru yang keliru
menangani permasalah siswanya, maka kesemuanya itu harus
dipertanggungjawabkannya, serta tidak selayaknya menudingkan
atau melemparkan kekeliruannya kepada pihak lain.
6. An emphasis upon the service to be rendered, rather than the
economic gain to the practitioners, as the basis for the organization
and performance of the social service delegated to the occupational
group.
Mengingat pelayanan profesional itu merupakan hal yang amat
esensial (dipandang dari pihak masyarakat yang memerlukannya)
maka hendaknya kinerja pelayanan tersebut lebih mengutamakan
kepentingan pelayanan pemenuhan kebutuhan tersebut, ketimbang
untuk kepentingan perolehan imbalan ekonomis yang akan
diterimanya. Hal itu bukan berarti pelayanan profesional tidak boleh
memperoleh imbalan yang selayaknya. Bahkan seandainya kondisi
dan situasi menuntut atau memanggilnya, seorang profesional itu
hendaknya bersedia memberikan pelayanan tanpa imbalan sekalipun.
7. A comprehensive self-gouverning organization of practitioners
Mengingat pelayanan itu sangat teknis sifatnya, maka
masyarakat menyadari bahwa pelayanan semacam itu hanya mungkin
dilakukan penanganannya oleh mereka yang kompeten saja. Karena
masyarakat awam di luar yang kompeten yang bersangkutan, maka
kelompok (asosiasi) para praktisi itu sendiri satu-satunya institusi
yang seyogianya menjalankan peranan yang ekstra, dalam arti
menjadi polisi atau dirinya sendiri, ialah mengadakan pengendalian
atas anggotanya mulai saat penerimaannya dan memberikan
sanksinya bilamana diperlukan terhadap mereka yang melakukan
pelanggaran terhadap kode etikanya.
8. A code of ethics which has been clarified and interpreted at
ambiguous and doubtful points by concrete cases
Otonomi yang dinikmati dan dimiliki oleh organisasi profesi
dengan para anggotanya seyogianya disertai kesadaran dan i’tikad
yang tulus baik pada organisasi maupun pada individual anggotanya
untuk memonitor prilakunya sendiri. Mengingat organisasi dan
sekaligus juga anggotanya harus menjadi polisi atas dirinya sendiri
maka hendaknya mereka bertindak sesuai dengan kewajiban dan
tuntunan moralnya baik terhadap klien maupun masyarakatnya. Atas
dasar itu, adanya suatu perangkat kode etika yang telah disepakati
bersama oleh yang bersangkutan seyogianya membimbing hati
nuraninya dan mempedomani segala tingkah lakunya.
Ornstein dan Levine (Soetjipto dan Kosasi, 2004:15) menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah ini:
1. Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan
sepanjang hayat (tidak berganti-ganti pekerjaan).
2. Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan khalayak ramai.
3. Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek (teori baru dikembangkan dari hasil penelitian).
4. Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
5. Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau mempunyai persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya).
6. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu (tidak diatur oleh orang luar).
7. Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan (langsung bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskannya, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang lebih tinggi). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.
8. Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien, dengan penekanan terhadap layanan yang akan diberikan.
9. Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya, relatif bebas dari supervisi dalam jabatan.
10. Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
11. Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok ‘elit’ untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggotanya.
12. Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan.
13. Mempunyai kepercayaan yang tinggi dari publik dan kepercayaan diri setiap anggotanya.
14. Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi (bila dibandingkan dengan jabatan lain).
Istilah yang Berkaitan dengan Profesi
Diskusi tentang profesi melibatkan beberapa istilah yang berkaitan, yaitu profesi, profesional, profesionalisme, profesionalisasi, dan profesionalitas. Sanusi, dkk (1991:19) menjelaskan kelima konsep tersebut sebagai berikut.
1. Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (experties) dari para anggotanya. Artinya, ia tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang yang tidak dilatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan itu. Keahlian diperoleh melalui apa yang disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi itu (pendidikan/latihan pra-jabatan) maupun setelah menjalani suatu profesi (in-service training). Di luar pengertian ini, ada beberapa ciri profesi khususnya yang berkaitan dengan profesi kependidikan.
2. Profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, orang yang menyandang suatu profesi, misalnya “Dia seorang profesional”. Kedua, penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya. Pengertian kedua ini, profesional dikontraskan dengan “non-profesional” atau “amatir’.
3. Profesionalisme menunjuk kepada komitmen/teori/faham para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi-
trategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.
4. Profesionalitas mengacu kepada sikap para anggota profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dalam rangka melakukan pekerjaannya.
5. Profesionalisasi menunjuk pada proses peningkatan kualifikasi maupun kemampuan para anggota profesi dalam mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai anggota suatu profesi. Profesionalisasi pada dasarnya merupakan serangkaian proses pengembangan profesional (professional development) baik dilakukan melalui pendidikan/latihan “pra-jabatan” maupun “dalam-jabatan”. Oleh karena itu, profesionalisasi merupakan proses yang life-long dan never-ending, secepat seseorang telah menyatakan dirinya sebagai warga suatu profesi. Profesi menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang
yang tidak dilatih atau disiapkan untuk itu. Profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, penampilan seseorang yang sesuai dengan tuntutan yang seharusnya, tapi bisa juga menunjuk pada orangnya. Profesionalisasi menunjuk pada proses menjadikan seseorang sebagai profesional melalui pendidikan pra- jabatan dan/atau dalam jabatan. Proses pendidikan dan latihan ini biasanya lama dan intensif.
Profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai profesi, ada yang profesionalismenya tinggi, sedang, dan rendah. Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya.
Tingkatan Profesi
Tidak semua pekerjaan menuntut tingkat profesional tertentu,
keragaman kemampuan ditinjau dari tingkat keprofesionalan yang
ada diperlukan karena di masyarakat terdapat berbagai pekerjaan
yang kategorinya juga berbeda. Pertanyaannya sekarang, jenis-jenis
bidang pekerjaan apa dan yang mana saja yang telah ada dan/atau
sedang berkembang di masyarakat selama ini, serta bagaimana pula
posisi atau status keprofesiannya. Dengan memperhatikan pokok-
pokok perangkat ketentuan keprofesian tertentu, Richey (1974) secara
tentatif telah mencoba mengidentifikasi tingkat-tingkat keprofesian
itu seperti tertera pada Gambar 1 di bawah ini:
Richey (1974) sendiri tidak memberikan rincian contohnya
yang definitif tentang jenis pekerjaan apa atau yang mana termasuk
kategori keprofesian yang mana. Akan tetapi dari berbagai rujukan
lain, jenis-jenis pekerjaan ini semua memerlukan pelayanan yang
ditujukan kepada orang lain. Perbedaan kategori pekerjaan tidak
menunjukkan perbedaan unsur-unsur atau elemen yang
memerlukan pelayanan tetapi menunjukkan pada sifat dan hakikat
dari pelayanan. Perbedaan kebutuhan pelayanan ini khususnya
dibedakan atas mendasar dan tidaknya tumpuan pekerjaan serta
besar kecilnya tanggung jawab yang dituntut. Sebagai gambaran
yang dapat digolongkan ke dalam jenis kategori yang mapan itu
antara lain: hukum, kedokteran, dan sebagainya. Sedangkan yang
termasuk kategori yang baru antara lain: akuntan, arsitek, dsb.
Oteng Sutisna mengklaim bidang kependidikan, khususnya
administrasi kependidikan sebagai salah satu jenis profesi yang
sedang tumbuh kembang (1983:311-314). Adapun jenis pekerjaan
yang termasuk kategori semiprofesional, banyak disebut juga
diantaranya keperawatan dan juga sebagian dari gugus pekerjaan
kependidikan, misalnya para guru di tingkat pendidikan dasar
(Richey, 1974:13-14). Kemudian yang sering didengar juga sejenis
pekerjaan yang mengklaim dirinya sebagai profesi, di Indonesia
misalnya bidang kemiliteran yang dinyatakannya ABRI sebagai
prajurit profesional.
Bloom dan Balinsky (1961:408-411) meskipun tidak
membedakan secara tegas batas antara kategori profesioanl dan semi
profesional telah menunjukkan sejumlah bidang pekerjaan yang
termasuk ke dalam kedua kategori tersebut sebagai suatu kesatuan
kelompok bidang pekerjaan dalam tatanan dunia kerja, gambar
berikut menjelaskan berbagai jenis/bidang profesi:
Ciri-ciri profesi sebagaimana dikemukakan pada uraian di
atas dapat digunakan sebagai kriteria atau tolok ukur
keprofesionalan guru. Selanjutnya kriteria ini akan berfungsi ganda,
yaitu:
1. Untuk mengukur sejauh mana guru-guru di Indonesia telah memenuhi kriteria profesionalisasi.
2. Untuk dijadikan titik tujuan yang akan mengarahkan segala upaya menuju profesionalisasi guru. Khusus untuk jabatan guru, sebenarnya juga sudah ada yang mencoba menyusun kriterianya. Misalnya National Education Association (NEA) menyarankan kriteria berikut:
1. Jabatan melibatkan kegiatan intelektual
2. Jabatan menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
3. Jabatan memerlukan persiapan profesional yang lama (bandingkan dengan pekerjaan memerlukan latihan umum belaka).
4. Jabatan memerlukan ’latihan dalam jabatan’ yang berkesinambungan
5. Jabatan menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.
6. Jabatan menentukan baku (standar) sendiri.
7. Jabatan lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
8. Jabatan mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Berikut ini penjelasan kriteria di atas:
1. Jabatan melibatkan kegiatan intelektual
Jelas sekali bahwa jabatan guru memenuhi kriteria ini, karena
mengajar melibatkan upaya-upaya yang sifatnya sangat didominasi
kegiatan intelektual. Lebih lanjut dapat diamati, bahwa kegiatan-
kegiatan yang dilakukan anggota profesi ini adalah dasar bagi
persiapan dari semua kegiatan profesional lainnya. Oleh sebab itu,
mengajar seringkali disebut sebagai ibu dari segala profesi (Stinnett
dan Huggett dalam Soetjipto dan Kosasi, 2004:18).
2. Jabatan menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
Semua jabatan mempunyai monopoli pengetahuan yang
memisahkan anggota mereka dari orang awam, dan memungkinkan
mereka mengadakan pengawasan tentang jabatannya. Anggota-
anggota suatu profesi menguasai bidang ilmu yang membangun
keahlian mereka dan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan,
amatiran yang tidak terdidik, dan kelompok tertentu yang ingin
mencari keuntungan. Namun belum ada kesepakatan tentang bidang
ilmu khusus yang melatari pendidikan (education) atau keguruan
(teaching) (Ornstein dan Levine, dalam Soetjipto dan Kosasi, 2004:19).
Terdapat berbagai pendapat tentang apakah mengajar
memenuhi persyaratan kedua ini. Mereka yang bergerak di bidang
pendidikan menyatakan bahwa mengajar telah mengembangkan
secara jelas bidang khusus yang sangat penting dalam mempersiapkan
guru yang berwenang. Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa
mengajar belum mempunyai batang tubuh ilmu khusus yang
dijabarkan secara ilmiah. Kelompok pertama percaya bahwa mengajar
adalah suatu sains (science), sementara kelompok kedua mengatakan
bahwa mengajar adalah suatu kiat/seni (art). Namun dalam karangan-
karangan yang ditulis dalam Encyclopedia of Educational Research
misalnya, terdapat bukti-bukti bahwa pekerjaan mengajar telah secara
intensif mengembangkan batang tubuh ilmu khususnya. Sebaliknya
masih ada juga yang benpendapat bahwa ilmu pendidikan sedang
dalam krisis identitas, batang tubuhnya tidak jelas, batas-batasnya
kabur, strukturnya sebagai a body of knowledge samar-samar (Sanusi
et. al, 204:19). Sementara itu, ilmu pengetahuan tingkah laku
(behavioural science), ilmu pengetahuan alam dan bidang kesehatan
dapat dibimbing langsung dengan peraturan dan prosedur yang
ekstensif dan menggunakan metodologi yang jelas. Ilmu pendidikan
kurang terdefinisi dengan baik. Diamping itu, ilmu terpakai dalam
dunia nyata pengajaran masih banyak yang belum teruji validasinya
dan disetujui sebagian besar ahlinya. (Gideons dan Woodring, dalam
Soetjipto dan Kosasi, 2004:20).
Sebagai hasilnya, banyak orang khususnya orang awam, seperti
juga dengan para ahlinya, selalu berdebat dan berselisih, malahan
kadang-kadang menimbulkan pembicaraan yang negatif. Hasil lain
dari bidang ilmu yang belum terdefinisi dengan baik ini adalah isi dari
kurikulum pendidikan guru berbeda antara satu tempat dengan
tempat lainnya, walaupun telah mulai disamakan dengan menentukan
topik-topik inti yang wajib ada dalam kurikulum.
Banyak guru di sekolah menengah diperkirakan mengajar di
luar bidang ilmu yang cocok dengan ijazahnya; misalnya banyak guru
matematika yang tidak mendapatkan mayor dalam matematika
sewaktu dia belajar pada lembaga pendidikan guru, ataupun mereka
tidak disiapkan untuk mengajar matematika. Masalah ini sangat
menonjol dalam bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam,
walaupun sudah agak berkurang dengan adanya persediaan guru yang
cukup sekarang ini.
Apakah guru bidang ilmu pengetahuan tertentu juga ditentukan
oleh baku pendidikan dan pelatihannya? Sampai saat ini pendidikan
guru banyak yang ditentukan ”dari atas”, ada yang waktu
pendidikannya cukup dua tahun saja, ada yang perlu tiga tahun atau
harus empat tahun.
Untuk melangkah kepada jabatan profesional, guru harus
mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membuat keputusan
tentang jabatannya sendiri. Organisasi guru harus mempunyai
kekuasaan dan kepemimpinan yang potensial untuk bekerja sama, dan
bukan didikte dengan kelompok yang berkepentingan, misalnya oleh
lembaga pendidikan guru atau kantor wilayah pendidikan beserta
jajarannya.
3. Jabatan memerlukan persiapan profesional yang lama (bandingkan
dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka).
Lagi-lagi terdapat perselisihan pendapat mengenai hal ini yang
membedakan jabatan profesional dengan non-profesional antara lain
adalah dalam penyelesaian pendidikan melalui kurikulum, yaitu ada
yang diatur universitas/institut atau melalui pengalaman praktek dan
pemagangan atau campuran pemagangan dan kuliah. Pertama, yakni
pendidikan melalui perguruan tinggi disediakan untuk jabatan
profesional, sedangkan yang kedua, yakni pendidikan melalui
pengalaman praktek dan pemagangan atau campuran pemagangan
dan kuliah diperuntukkan bagi jabatan yang non-profesional (Orstein
dan Levine, 2004:21).
Anggota kelompok guru dan yang berwenang di departemen
pendidikan berpendapat bahwa persiapan profesional yang cukup
lama amat perlu untuk mendidik guru yang berwenang. Konsep ini
menjelaskan keharusan memenuhi kurikulum perguruan tinggi, yang
terdiri dari pendidikan umum, profesional, dan khusus, sekurang-
kurangnya empat tahun bagi guru pemula (S1 di LPTK) atau
pendidikan persiapan profesional di LPTK paling kurang selama
setahun setelah mendapat gelar akademik S1 di perguruan tinggi non-
LPTK. Namun sampai sekarang di Indonesia ternyata masih banyak
guru yang lama pendidikan mereka sangat singkat, malahan masih ada
yang hanya seminggu, sehingga tentu saja kualitasnya masih sangat
jauh untuk dapat memenuhi persyaratan yang kita harapkan.
4. Jabatan memerlukan ’latihan dalam jabatan’ yang berkesinambungan Jabatan guru cenderung menunjukkan bukti yang kuat sebagai jabatan profesional, sebab hampir tiap tahun guru melakukan berbagai kegiatan latihan profesional, baik yang mendapatkan penghargaan kredit maupun tanpa kredit. Malahan pada saat sekarang bermacam- macam pendidikan profesional tambahan diikuti guru-guru dalam menyetarakan dirinya dengan kualifikasi yang telah ditetapkan.
5. Jabatan menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.
Di luar negeri barangkali syarat jabatan guru sebagai karier
permanen merupakan titik yang paling lemah dalam menuntut bahwa
mengajar adalah jabatan profesional. Banyak guru baru yang hanya
bertahan selama satu atau dua tahun saja pada profesi mengajar,
setelah itu mereka pindah kerja ke bidang lain, yang lebih banyak
menjanjikan bayaran yang lebih tinggi. Untunglah di Indonesia
kelihatannya tidak begitu banyak guru yang pindah ke bidang lain,
walaupun bukan berarti pula bahwa jabatan guru di Indonesia
mempunyai pendapatan yang tinggi. Alasannya mungkin karena
lapangan kerja dan sistem pindah jabatan yang agak sulit. Dengan
demikian kriteria ini dapat dipenuhi oleh jabatan guru di Indonesia.
6. Jabatan menentukan baku (standar) sendiri.
Karena jabatan guru menyangkut hajat orang banyak, maka baku
untuk jabatan guru ini sering tidak diciptakan oleh anggota profesi
sendiri, terutama di negara kita. Baku jabatan guru masih sangat
banyak diatur oleh pihak pemerintah, atau pihak lain yang
menggunakan tenaga guru tersebut seperti yayasan pendidikan swasta.
Sementara kebanyakan jabatan mempunyai patokan dan
persyaratan yang seragam untuk meyakinkan kemampuan minimum
yang diharuskan, tidak demikian halnya dengan jabatan guru. Dari
pengalaman beberapa tahun terakhir penerimaan calon mahasiswa
yang masuk ke lembaga pendidikan guru nantinya, karena
bagaimanapun juga mutu lulusan akan sangat dipengaruhi oleh mutu
masukan atau bahan bakunya, dalam hal ini mutu calon mahasiswa lembaga pendidikan guru. Dalam setiap jabatan profesi setiap anggota kelompok dianggap sanggup untuk membuat keputusan profesional berhubungan dengan iklim kerjanya. Para profesional biasanya membuat peraturan sendiri dalam daerah kompetensinya, kebiasaan dan tradisi yang berhubungan dengan pekerjaan dan hal-hal yang berhubungan dengan langganan kliennya. Karena jabatan guru menyangkut hajat orang banyak, maka baku untuk jabatan guru ini sering tidak diciptakan oleh anggota profesi sendiri, terutama di negara kita. Baku jabatan guru masih sangat banyak diatur oleh pihak pemerintah, atau pihak lain yang menggunakan tenaga guru tersebut seperti yayasan pendidikan swasta. Sementara kebanyakan jabatan mempunyai patokan dan persyaratan yang seragam untuk meyakinkan kemampuan minimum yang diharuskan, tidak demikian halnya dengan jabatan guru. Dari pengalaman beberapa tahun terakhir penerimaan calon mahasiswa yang masuk ke lembaga pendidikan guru nantinya, karena bagaimanapun juga mutu lulusan akan sangat dipengaruhi oleh mutu masukan atau bahan bakunya, dalam hal ini mutu calon mahasiswa
lembaga pendidikan guru. Dalam setiap jabatan profesi setiap anggota kelompok dianggap sanggup untuk membuat keputusan profesional berhubungan dengan iklim kerjanya. Para profesional biasanya membuat peraturan sendiri dalam daerah kompetensinya, kebiasaan dan tradisi yang berhubungan dengan pekerjaan dan hal-hal yang berhubungan dengan langganan kliennya. di negara kita, kriteria ini belum dapat secara keseluruhan dipenuhi oleh jabatan guru.
7. Jabatan lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi. Jabatan mengajar adalah jabatan yang mempunyai nilai sosial yang tinggi, tidak perlu diragukan lagi. Guru yang baik akan sangat berperan dalam mempengaruhi kehidupan yang lebih baik dari warga
negara masa depan. Jabatan guru telah terkenal secara universal sebagai suatu jabatan yang anggotanya termotivasi oleh keinginan untuk membantu orang lain, bukan disebabkan oleh keuntungan ekonomi atau keuangan. Kebanyakan guru memilih jabatan ini berdasarkan apa yang dianggap baik oleh mereka yakni mendapatkan kepuasan rohaniah ketimbang kepuasan ekonomi atau lahiriah. Namun tidak berarti bahwa guru harus dibayar lebih rendah tetapi juga jangan mengharapkan akan cepat kaya bila memilih jabatan guru. Oleh karena itu, tidak perlu diragukan lagi bahwa persyaratan ketujuh ini dapat dipenuhi dengan baik.
8. Jabatan mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat. Semua profesi yang dikenal mempunyai organisasi profesional yang kuat untuk dapat mewadahi tujuan bersama dan melindungi anggotanya. Dalam beberapa hal, jabatan guru telah memenuhi kriteria ini dan dalam hal lain belum dapat dicapai. Di Indonesia telah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wadah seluruh guru mulai dari guru taman kanak-kanak sampai guru sekolah lanjutan tingkat atas, dan ada pula Ikatan Sarjana Pendidikan Indonseia (ISPI) yang mewadahi seluruh sarjana pendidikan. Di samping itu, juga telah ada kelompok guru mata pelajaran sejenis, baik pada tingkat daerah maupun tingkat nasional, namun belum terkait secara baik
dengan PGRI. Harus dicarikan usaha yang sungguh-sungguh agar kelompok-kelompok guru mata pelajaran sejenis itu tidak dihilangkan, tetapi dirangkul ke dalam pangkuan PGRI sehingga merupakan jalinan yang amat rapi dari suatu profesi yang baik. Syarat-syarat umum tersebut harus dipenuhi dengan sebaik- baiknya oleh mereka yang akan terjun dalam kalangan pendidikan dan pengajaran. Bagaimanapun juga pekerjaan mengajar adalah suatu “profession”, dan syarat-syarat umum tadi dengan segala pendidikan dan latihan yang diperlukan untuk memenuhinya, adalah akibat wajar yang lahir dari suatu “profession status”. Oleh karena itu, atas dasar
syarat-syarat umum tersebut, susunan rencana pelajaran untuk pendidikan guru berpokok pada:
(1) pendidikan profesional
(2) pendidikan umum
(3) pendidikan spesialisasi
Gagasan ketiga model ini ternyata amat selaras dengan dasar pemikiran yang berkembang di lingkungan UNESCO sebagaimana dikemukakan Goble (1977) dalam bukunya The Changing Role of The Teacher, yang mengidentifikasikan beberapa kecenderungan
perubahan peranan guru, yaitu:
(1) Kecenderungan ke arah diversifikasi fungsi-fungsi proses pembelajaran dan peningkatan tanggung jawab yang lebih besar dalam pengorganisasian isi dari proses belajar mengajar.
(2) Kecenderungan ke arah bergesernya titik berat dari pengajaran yang merupakan pengalihan/transformasi pengetahuan oleh guru kepada proses belajar oleh siswa, dengan memanfaatkan semaksimal mungkin penggunaan sumber-sumber belajar yang inovatif di
lingkungan masyarakat.
(3) Kecenderungan ke arah individualisasi proses relajar dan berubahnya struktur hubungan antara guru dan siswa.
(4) Kecenderungan ke arah penggunaan teknologi pendidikan modern dan penguasaan atas pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan.
(5) Kecenderungan ke arah diterimanya bentuk kerjasama yang ruang
lingkupnya lebih luas bersama guru-guru yang mengajar di sekolah
lain; dan berubahnya struktur hubungan antara para guru sendiri.
(6) Kecenderungan ke arah kebutuhan untuk membina kerjasama yang
lebih erat dengan orang tua dan orang lain di dalam masyarakat
serta meningkatkan keterlibatan di dalam kehidupan masyarakat.
(7) Kecenderungan ke arah diterimanya partisipasi pelayan sekolah dan kegiatan ekstra kurikuler.
(8) Kecenderungan ke arah sikap yang menerima kenyataan bahwa otoritas tradisional dalam hubungannya dengan anak-anak telah berkurang-terutama antara anak-anak yang lebih tua terhadap orang tuanya.
Urgensi Profesionalisme dalam Kehidupan
Pada dasarnya profesionalisme dan sikap professional itu merupakan motivasi intrinsik yang ada pada diri seseorang sebagai pendorong untuk mengembangkan dirinya menjadi tenaga profesional. Motivasi intrinsik tersebut akan berdampak pada munculnya etos kerja yang unggul (exellence) yang ditunjukkan dalam lima bentuk kerja sebagai berikut:
a. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati
standar ideal. Berdasarkan kriteria ini, jelas bahwa guru yang memiliki profesional tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai dengan standar ideal akan mengidentifikasikan dirinya kepada figur yang dipandang memiliki standar ideal.
b. Meningkatkan dan memelihara citra profesi. Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi melalui perwujudan perilaku profesional. Perwujudan dilakukan melalui berbagai cara, penampilan, cara bicara, penggunaan bahasa, postur, sikap hidup sehari-hari, hubungan antar pribadi, dan sebagainya.
c. Memanfaatkan setiap kesempatan pengembangan profesional. Berdasarkan kriteria ini, para guru diharapkan selalu berusaha
mencari dan memanfaatkan kesempatan yang dapat
mengembangkan profesinya. Berbagai kesempatan yang dapat
dimanfaatkan antara lain:
(a) mengikuti kegiatan ilmiah seperti
lokakarya, seminar, dan sebagainya,
(b) mengikuti penataran atau pendidikan lanjutan,
(c) melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat,
(d) menelaah kepustakaan, membuat karya ilmiah, serta, serta
(e) memasuki organisasi profesi.
d. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi.
Hal ini mengandung makna bahwa profesionalisme yang tinggi ditunjukkan dengan adanya upaya untuk selalu mencapai kualitas dan cita-cita sesuai dengan program yang telah ditetapkan. Guru yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu aktif dalam seluruh kegiatan dan perilakunya untuk menghasilkan kualitas yang ideal. Secara kritis, ia akan selalu mencari dan secara aktif selalu memperbaiki din untuk memperoleh hal-hal yang lebih baik dalam melaksanakan tugasnya.
e. Memiliki kebanggaan terhadap profesinya. Profesionalisme ditandai dengan kualitas derajat kebanggaan akan profesi yang dipegangnya. Dalam kaitan ini, diharapkan agar para guru memiliki rasa bangga dan percaya diri akan profesinya. Rasa bangga ini ditunjukkan dengan penghargaan akan pengalamannya di masa lalu, berdedikasi tinggi terhadap tugas-tugasnya sekarang, dan meyakini akan potensi dirinya bagi perkembangan di masa depan.
UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menempatkan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sangat urgen karena berfungsi untuk meningkatkan martabat guru sendiri dan
meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Ini tertera pada pasal 4:
“Kedudukan guru sebagai tenaga professional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional”.
Selanjutnya Pasal 6 menyatakan tujuan menempatkan guru
sebagai tenaga professional yaitu:
“Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwakepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.”
Rangkuman
Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Profesi adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Profesionalisme adalah faham atau ajaran yang menekankan bahwa segala sesuatu pekerjaan harus dilakukan dengan professional. Profesional mengacu kepada sebutan orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya.
Profesionalitas adalah suatu sebutan terhadap kualitas dan derajat keahlian yang dimiliki seseorang untuk dapat melakukan tugas- tugasnya. Dengan demikian, sebutan profesionalitas lebih menggambarkan suatu “keadaan” derajat keprofesian seseorang.
2. Guru merupakan jabatan profesi didasarkan pada UU nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 7. Di samping itu juga PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru pasal 2 yang mempersyaratkan bagi guru professional memenuhi standar kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi.
3. Profesionalitas seseorang sangat urgen dalam semua segi kehidupan, termasuk dalam jabatan guru, karena akan dapat meningkatkan
martabat dan harkat guru di satu sisi, dan pada sisi yang lain akan
dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Komentar
Posting Komentar